Transfer pricing merupakan isu klasik di bidang perpajakan, khususnya menyangkut transaksi internasional yang dilakukan oleh korporasi multinasional. Dari sisi pemerintahan, transfer pricing diyakini mengakibatkan berkurang atau hilangnya potensi penerimaan pajak suatu negara karena perusahaan multinasional cenderung menggeser kewajiban perpajakannya dari negara-negara yang memiliki tarif pajak yang tinggi (high tax countries) ke negara-negara yang menerapkan tarif pajak rendah (low tax countries). Di pihak lain dari sisi bisnis, perusahaan cenderung berupaya meminimalkan biaya-biaya (cost efficiency) termasuk di dalamnya minimalisasi pembayaran pajak perusahaan (corporate income tax).

Transfer pricing didefenisikan sebagai suatu harga jual khusus yang dipakai dalam pertukaran antardivisional untuk mencatat pendapatan divisi penjual dan biaya divisi pembeli. Tujuan utama dari transfer pricing adalah mengevaluasi dan mengukur kinerja perusahaan. Tetapi sering juga transfer pricing digunakan oleh perusahaan-perusahaan multinasional untuk meminimalkan jumlah pajak yang dibayar melalui rekayasa harga yang ditransfer antardivisi. Kunci utama keberhasilan transfer pricing dari sisi pajak adalah adanya transaksi karena adanya hubungan istimewa.

Hubungan istimewa adalah hubungan kepemilikan antara satu perusahaan dengan perusahaan lain dan hubungan ini terjadi karena adanya keterkaitan, pertalian atau ketergantungan satu pihak dengan pihak yang lain yang tidak terdapat pada hubungan biasa, Oleh karena itu faktor hubungan istimewa akan menjadi penting dalam menentukan besarnya penghasilan dan/atau biaya yang akan dibebankan untuk menghitung penghasilan kena pajak.

Pengertian mengenai hubungan istimewa menurut Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK No.7) adalah sebagai berikut:

  1. Perusahaan yang melalui satu atau lebih perantara (intermediaries), mengendalikan, atau dikendalikan oleh, atau berada di bawah pengendalian bersama, dengan perusahaan pelapor (termasuk holding companies, subsidiaries dan fellow subsidiaries)
  2. Perusahaan asosiasi (associated company)
  3. Perorangan yang memiliki, baik secara langsung maupun tidak langsung, suatu kepentingan hak suara di perusahaan pelapor yang berpengaruh secara signifikan, dan anggota keluarga dekat dari perorangan tersebut (yang dimaksudkan dengan anggota keluarga dekat adalah mereka yang dapat diharapkan mempengaruhi atau dipengaruhi perorangan tersebut dalam transaksinya dengan perusahaan pelapor)
  4. Karyawan kunci, yaitu orang-orang yang mempunyai wewenang dan tanggung jawab untuk merencanakan, memimpin dan mengendalikan kegiatan perusahaan pelapor yang meliputi anggota dewan komisaris, direksi dan manajer dari perusahaan serta anggota keluarga dekat orang-orang tersebut
  5. perusahaan di mana suatu kepentingan substansial dalam hak suara dimiliki baik secara langsung maupun tidak langsung oleh setiap orang yang diuraikan dalam 3 atau 4, atau setiap orang tersebut mempunyai pengaruh signifikan atas perusahaan tersebut.

Pengertian hubungan istimewa menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan No. 17 Tahun 2000 (UU PPh) adalah: hubungan istimewa dianggap ada apabila:

a) Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain, atau hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada dua Wajib Pajak atau lebih, demikian pula hubungan antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir; atau

b) Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung; atau

c) Terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan atau ke samping satu derajat.

Secara umum transfer pricing, dapat mengakibatkan terjadinya pengalihan penghasilan atau dasar pengenaan pajak dan/atau biaya dari satu wajib pajak ke wajib pajak lainnya, yang dapat direkayasa untuk menekan keseluruhan jumlah pajak terhutang atas wajib pajak-wajib pajak yang mempunyai hubungan istimewa tersebut. Praktek transfer pricing dapat terjadi antar Wajib Pajak dalam negeri atau antara Wajib Pajak dalam Negeri dengan pihak luar negeri, terutama yang berkedudukan di Tax Haven Countries (negara yang tidak memungut/memungut pajak lebih rendah dari Indonesia).

Kekurang wajaran sebagaimana melalui Direktorat Jenderal Pajak, melalui Surat Edaran Dirjen Pajak N0. SE- 04/PJ.7/1993 Tanggal 3 Maret 1993 menyebutkan bahwa kekurang-wajaran dari adanya praktek transfer pricing dapat terjadi atas (1) harga penjualan; (2) harga pembelian; (3) alokasi biaya administrasi dan umum (overhead cost); (4) pembebanan bunga atas pemberian pinjaman oleh pemegang saham (Shareholder loan); (5) pembayaran komisi, lisensi, franchise, sewa, royalti, imbalan atas jasa manajemen, imbalan atas jasa teknik dan imbalan atas jasa lainnya; (6) pembelian harta perusahaan oleh pemegang saham (pemilik) atau pihak yang mempunyai hubungan istimewa yang lebih rendah dari harga pasar; (7) penjualan kepada pihak luar negeri melalui pihak ketiga yang kurang/tidak mempunyai substansi usaha.

Untuk mencegah terjadinya penghindaran pajak antara lain melalui penentuan harga yang tidak wajar (non arm's length price), dalam perundang-undangan perpajakan telah terdapat ketentuan-ketentuan yang pada dasarnya memberikan Aspek Perpajakan Dalam Praktek Transfer Pricing wewenang kepada aparat pajak untuk melakukan koreksi terhadap transaksi-transaksi yang tidak wajar dengan pihak lain yang mempunyai hubungan istimewa.

Pasal 18 ayat (1), (2) dan (3) Undang-Undang Perpajakan No. 10 Tahun 1994 mengatur bahwa :

1. Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan keputusan mengenai besarnya perbandingan antara utang dan modal perusahaan untuk keperluan penghitungan pajak berdasarkan undang-undang ini.

2. Menteri Keuangan berwenang menetapkan saat diperolehnya deviden oleh Wajib Pajak dalam negeri atas pneyertaan modal pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek, dengan ketentuan sebagai berikut :

(a) besarnya penyertaan modal Wajib Pajak dalam negeri tersebut sekurangkurangnya 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor atau

(b) Secara bersama-sama dengan Wajib Pajak dalam negeri lainnya memiliki penyertaan modal sebesar 50% (lima puluh persen) atau lebih dari jumlah saham yang disetor.

3. Dalam pasal ini berbunyi Direktur Jendral Pajak berwenang menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa.

Selanjutnya Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perpajakan No. 11 Tentang Pajak Pertambahan Nilai juga mengatur tentang transaksi yang berhubungan dengan transfer pricing. Pasal ini berbunyi : “Dalam hal harga jual atau penggantian dipengaruhi oleh hubungan istimewa, maka harga jual atau penggantian dihitung atas dasar harga pasar wajar pada saat penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak itu dilakukan”.

Keputusan Direktur Jendral Pajak Nomor : KEP-01/PJ.7/1993 tentang “Pedoman Pemeriksaan Pajak Terhadap Wajib Pajak yang Mempunyai Hubungan Istimewa”, dalam Surat Keputusan ini diatur mengenai tahap-tahap pemeriksaan yang perlu dilakukan oleh pihak yang berwenang berkaitan dengan adanya praktek transfer pricing yaitu :

1. Mempelajari berkas Wajib Pajak dan berkas data. Tahap ini dilakukan dengan mempelajari akte notaris dan perubahannya. Harus diteliti apakah dari struktur pemilikan saham-saham Wajib Pajak yang diperiksa tampak adanya hubungan istimewa sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan No. 10 Tahun 1994 dan Undang-Undang No. 11 tentang Pajak Pertambahan Nilai pasal 2 ayat (1). Tujuan yang ingin dicapai adalah untuk mengetahui gambaran umum Wajib Pajak yang antara lain adalah :

· Mengenai usaha dan karakteristik perusahaan

· Mengenai struktur kepemilikan saham, apakah ada kemungkinan hubungan istimewa antara pemegang saham dan Wajib Pajak yang diperiksa.

· Mempelajari struktur organisasi perusahaan terkait. Sedapat mungkin diusahakan menggambarkan bagan organisasi perusahaan-perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa dan hubungan ekonomis dengan wajib pajak yang diperiksa yang memberikan gambaran dan lokasi kegiatan

· Mempelajari sifat dan jenis kegiatan usaha Wajib Pajak. Sedapat mungkin digambarkan aktivitas usaha Wajib Pajak sejak adanya order hingga penyelesaian order, baik itu mengenai pembelian maupun mengenai penjualan.

· Mempelajari kemungkinan over/under invoicing. Pembelian/impor maupun penjualan/ekspor yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan pemasok maupun pelanggan yang terutama berkedudukan di Tax Heaven Countries, harus dipelajari kemungkinan adanya over dan under invoicing.

· Mempelajari laporan pemeriksaan terdahulu. Hal ini bertujuan untuk mengetahui hal-hal sebagaimana yang dimaksud dalam hurf b, c dan huruf d di atas sehingga dapat dijadikan petunjuk di dalam pemeriksaan yang akan dilaksanakan.

2. Menganalisa SPT dan Laporan Keuangan Wajib Pajak. Tujuan dilaksanakan analisa ini adalah untuk mendeteksi ketidak-wajaran harga penjualan atau pembelian diantara pihak yang mempunyai hubungan istimewa tersebut. Untuk melakukan hal ini digunakan analisa rasio yang berlaku secara umum.

Untuk mencegah terjadinya praktek penghindaran pajak melalui transfer pricing, pemerintah dapat dilakukan melalui ketentuan anti penghindaran pajak dalam peraturan pelaksanaan perpajakan yang ketat, pemerintah dapat pula membuat kesepakatan dengan wajib pajak mengenai konsep dan ketentuan dalam hal menentukan harga transaksi dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa, serta memciptakan kesadaran wajib pajak dalam memberikan informasi yang lengkap mengenai praktek bisnisnya.

Sumber : Jurnal Akuntansi

PPN Belum Akan Dinaikkan

Dirjen Pajak Darmin Nasution mengisyaratkan pemerintah belum akan menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN). Hal ini terkait dengan sejumlah usulan yang mengemuka belakangan ini, agar PPN dinaikkan untuk menggenjot penerimaan pajak setelah adanya pengurangan tarif pajak penghasilan (PPh) melalui amandemen RUU PPh yang baru-baru sudah disepakati antara pemerintah dengan Komisi XI DPR.

"Kalau usulan PPN dinaikkan, saya belum mau jawab. Nanti aja tunggu amandemen. Sampai sekarang tarif PPN kita tetap 10 persen," ucapnya, di sela acara Sosialisasi Sunset Policy di Kalangan Perbankan, di kantor Ditjen Pajak, Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Selasa (5/8/2008).

Dia menambahkan, PPN di Indonesia sebenarnya tidak lebih tinggi dibanding negara-negara Eropa, yang paling sedikit menerapkan PPN-nya sekira 15 persen dan tidak diberlakukan di semua komoditas.

"Bahkan yang bukan komoditas kebutuhan dasar itu bisa sampai 30 persen. Itu PPN-nya lho, bukan PPnBM," jelasnya.

Menurut Darmin, PPN itu adalah jenis pajak yang memukul rata ke segala sektor. Sehingga, dalam hal ini jangan berbicara keadilan. "Orang meninggal dan bayi yang baru lahir di rumah sakit saja peralatannya kena PPN," jelasnya.

Artinya, lanjut Darmin, seandainya PPN itu dinaikkan memang penerimaan negara akan ikut terkerek naik. Namun, ia menegaskan, itu akan semakin mengorbankan keadilan.(spectrum konsultan).


sumber : www.pajak.go.id

Objek PPh 22 Diperluas

Pemerintah dan Panja RUU PPh sepakat memberlakukan pajak bagi penjual barang mewah. Kesepakatan itu dilakukan sebagai bagian dari perluasan objek kena PPh 22. Direktur Jenderal Pajak Departemen Keuangan Darmin Nasution mengatakan, selama ini PPh 22 penjualan barang mewah hanya dikenakan kepada kalangan konsumen. Namun, ke depan pemerintah juga bakal membebankannya kepada penjual.

"Selama ini kan hanya pembeli yang dikenai.Ke depan, baik pembeli barang mewah maupun penjualnya akan sama-sama dikenakan PPh 22," ujar Darmin di Jakarta, Kamis (19/6/2008) kemarin.

Menurut Darmin, nantinya PPh yang akan diberlakukan bagi kalangan penjual barang mewah adalah PPh Badan. Pasalnya, penjual barang tersebut merupakan penjual barang mewah memperoleh produknya dari industri sebagai badan usaha atau distributor. Mekanisme pungutan PPhnya, lanjut Darmin, dilakukan di muka oleh pabrikan barang mewah. Pabrikan bisa membebankannya kembali kepada distributor/penjual barang mewah.

Menurut dia, hal ini akan memudahkan pemerintah memungut pajaknya. Sebagai dasar hukumnya, kata dia, pemerintah akan mengatur pemotongan pajak ini melalui UU PPh yang akan diterbitkan dalam bentuk peraturan menteri keuangan. Tujuan pengenaan pajak ini, jelas dia, lebih dimaksudkan sebagai kontrol perdagangan barang mewah dan penarikan potensi penerimaan pajak pemerintah.

Darmin menambahkan, dengan penerapan PPh 22 ini, pihaknya meyakinitidakakan ada kenaikan harga. Selain jumlah pajak yang akan dipungut tidak dalam jumlah signifikan, penerapan pajak juga hanya akan dikenakan terutama pada laba yang didapat penjual. "Itu pajak terhadap laba, jadi tidak menyebabkan kenaikan harga. Kalau tidak ada laba,wajib pajak dapat meminta restitusi yang diperhitungkan dari sisi omzet," paparnya.

Anggota Panja RUU PPh Rama Pratama mengatakan, pihaknya menyetujui perluasan objek PPh 22 kepada penjual barang mewah. Menurut dia, hal ini akan mempermudah pemerintah melakukan kontrol peredaran barang mewah dari sisi distributor. Sementara dari sisi dampak, pihaknya meyakini penerapan PPh ini juga tidak akan sampai mendorong kenaikan harga barang hingga level yang sangat tinggi.

"Kebijakan ini tidak akan sampai memengaruhi harga secara signifikan, karena besarannya sangat kecil, yakni tidak melebihi 1% terhadap laba," tuturnya.

Sumber Direktorat Kantor Pajak

Besaran tarif PPh tertinggi untuk Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri pada RUU PPh yang baru akan diturunkan besarannya dari 35% menjadi 30% pada tahun 2009.
Dalam RUU tersebut, WP Orang Pribadi akan dikenakan pajak progresif dengan lapisan dan tarif sebagai berikut:
1. Lapisan PKP (Pendapatan Kena Pajak) sampai dengan Rp 50 juta dikenakan tarif sebesar 5%;
2. Lapisan PKP Rp 50 juta s.d Rp 250 juta dikenai tarif sebesar 15%;
3. Lapisan PKP Rp 250 juta s.d Rp 500 juta dikenai tarif 25%;
4. Lapisan PKP di atas Rp 500 juta dikenai tarif sebesar 30%.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan aturan dalam RUU PPh ini, berubah dari UU PPh sebelumnya. Bagi WP pribadi tarif tertinggi turun dari 35% jadi 30% dan menghapus lapis tarif 10%, sehingga lapisan tarif berkurang dari 5 menjadi 4.
Sementara lapisan penghasilan kena pajak atau income brecket yang semula lapis tertinggi sebesar Rp 200 juta dinaikkan menjadi Rp 500 juta.

"Saya tadi tanya Pak Darmin saya masuk lapis brecket yang keberapa, dia bilang gaji menteri masuk yang lapis kedua, tapi Dirjennya yang pertama," celetuk Sri Mulyani dalam rapat persetujuan RUU PPh di tingkat Panja DPR, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis malam (17/7/2008).

Kemudian, pada RUU yang baru ini tarif WP badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap disepakati menjadi 28% pada 2009 dan menjadi 25% di 2010. "Semula ada 3 lapis tarif yaitu 3%, 5% dan 10%, menjadi tarif tunggal 28% pada 2009 dan 25% pada 2010," ujar Sri Mulyani.

Untuk mendorong investor agar menanamkan modalnya kembali, dalam RUU PPh ini diatur untuk mengenakan tarif atas penghasilan berupa dividen yang dibagikan kepada WP orang pribadi dalam negeri adalah sebesar 10% dan bersifat final.

"Untuk perusahaan go public diberi potongan tarif 5% dengan syarat 40% sahamnya di publik. Ini untuk tingkatkan kepemilikan saham dan meningkatkan pasar modal," kata Sri Mulyani.

Lalu pengurangan tarif PPh UMKM 50% dari tarif normal PPh badan, dan ini dikatakan Sri Mulyani merupakan nafas bagi UMKM.


Sumber : Detik Finance

Panja RUU PPh telah merampungkan pembahasan terhadap 770 daftar inventaris masalah (DIM).
Ada beberapa substansi penting yang disepakati dalam pembahasan RUU PPh, substansi penting itu, antara lain mengenai pengecualian obyek pajak PPh, penghasilan tidak kena pajak (PTKP), besaran tarif pajak, pembebasan pajak keluar negeri (bea fiskal), dan fasilitas perpajakan bagi UMKM.


Terdapat dua kelompok yang masuk dalam pengecualian obyek PPh, yaitu:
• kelompok bantuan/sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh amil zakat yang dibentuk dan disahkan oleh pemerintah atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia.
• Kelompok kedua adalah harta hibah yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, pendidikan, sosial termasuk yayasan, koperasi atau perorangan yang menjalankan usaha mikro kecil.
Sementara mengenai PTKP, disepakati adanya kenaikan dari semula Rpl3,2 juta per tahun menjadi Rpl5,84 juta per tahun untuk WP orang pribadi. Angka itu akan me-ningkat sebesar Rpl,32juta jika WP berstatus kawin.

Juga terdapat tambahan PTKP sebesar Rp 15,84 juta untuk seorang istri yang penghasilannya digabung dengan suami. Ada juga tambahan PTKP sebesar Rp 1,32 juta untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semen-da dalam garis keturunan lurus serta anak angkat yang jadi tanggungan penuh, dengan jumlah maksimum tiga orang tiap keluarga.

Sedangkan untuk tarif PPh terhadap WP orang pribadi diberlakukan tarif progresif dengan 4 lapisan tarif yaitu :
• lapisan penghasilan kena pajak (PKP) hingga Rp50 juta tarifnya 5 persen
• Rp50 juta hingga Rp250 juta sebesar 15 persen
• Rp250 juta hingga Rp500 juta sebesar 25 persen, dan
• Di atas Rp500 juta sebesar 30 persen.

Sementara untuk WP badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap, disepakati adanya penurunan dari saat ini 30 persen menjadi 28 persen pada 2009 dan 25 persen pada 2010.

dalam pembahasan undang-undang yang baru ini, juga menyepakati bahwa bagi WP orang pribadi dalam negeri yang tidak memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP) dan telah berusia 21 tahun yang bepergian keluar negeri, wajib membayar pajak yang ketentuannya diatur dengan PP. Ketentuan itu akan berlaku hingga 31 Desember 2010.

RUU PPh juga memberikan fasilitas perpajakan bagi UMKM berupa pengurangan tarif sebesar 50 persen dari tarif normal yang dikenakan atas PKP dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp4,8 miliar.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan RUU PPh ini tetap berpegangan pada prinsip-prinsip perpajakan yang dianut secara universal. "Dengan mengedepankan keadilan, kemudahan serta efisiensi administrasi dan juga mempertahankan sistem self assessment" katanya.

Dengan selesainya UU ini, ada beberapa hal yang diharapkan oleh pemerintah, pertama, meningkatkan keadilan pengenaan pajak. Kedua, lebih memberikan kemudahan bagi WP. Ketiga, lebih memberikan kemudahan administrasi perpajakan. Keempat, lebih memberikan kepastian hukum, konsistensi dan trans-paransi. Kelima, lebih menunjang kebijakan pemerintah dalam rangka meningkatkan daya saing, menarik investasi langsung di Indonesia, baik itu penanaman dalam negeri maupun asing.

Tarif PPh RI bersaing

Pemberlakuan UU Pajak Penghasilan (PPh) baru hasil amendemen keempat mulai tahun depan akan meningkatkan daya saing tarif pajak di Indonesia.UU Hasil Amendemen Berpotensi Menghilangkan Penerimaan Negara Rp40,8 Triliun. Dirjen Pajak Darmin Nasution mengatakan, nantinya pada 2010 tarif PPh di Indonesia akan bisa bersaing dengan Singapura yang dikenal sebagai tax heaven country atau negara dengan tarif sangat rendah. Salah satu contoh tarif PPh yang bersaing dalam UU hasil amendemen tersebut adalah pengurangan tarif pajak sebesar 5% kepada perusahaan yang masuk bursa.

Namun, perusahaan tersebut sekurangnya 40% sahamnya dimiliki paling tidak oleh 300 pemegang saham yang berbeda. "Dengan begitu, mereka hanya dikenai tarif 23% pada 2009 dan menjadi 20% pada 2010. Ini berarti kita tidak jauh lagi dengan negara te-tangga, termasuk Singapura."

Selain itu, tarif PPh badan mulai tahun depan dikenakan tunggal sebesar 28 % a tau turun dari tarif yang berlaku saat ini tertinggi 30% dan dikenakan berlapis. Penetapan tarif tunggal guna menghilangkan modus penghindaran pajak, seperti menyembunyikan diri dari lapisan tarif yang seharusnya dibayar.

Penurunan tarif tidak bisa dihindari karena sudah menjadi kecenderungan dunia. Ini merupakan dampak globalisasi yang memudahkan para investor berpindah lokasi usaha, sehingga penurunannya dipengaruhi tarif PPh negara tetangga.

"Sebagai gambaran, tarif PPh Malaysia 20%, Singapura sudah diterapkan 18%, Thailand tidak jauh dari kita."
Penurunan tarif ini merupakan salah satu upaya dari sisi perpajakan untuk meningkatkan daya saing investasi di Indonesia. Hal ini belum termasuk berbagai insentif pengurangan sumbangan keagamaan, dan bidang tertentu yang dapat mengurangi penghasilan kena pajak.

Bukan yang Utama


Penurunan tarif pajak bukan faktor utama penentu daya saing di Indonesia. Dengan tarif 28% dan 25%, Indonesia memang bisa bersaing dengan empat negara di Asia Tenggara yang memiliki tipikal sama, yaitu

Malaysia.Vietn am, Kamboja, dan Filipina." Yang lebih penting adalah ketersediaan infrastruktur seperti listrik dan jalan, kepastian hukum, dan masalah perburuhan."

Meski begitu, penurunan tarif pada tingkat yang wajar dan setara dengan negara lain menjadi penting guna menekan modus transfer pricing atau penghindaran membayar pajak. Menurut dia, penurunan tarif secara bertahap adalah pilihan terbaik karena tahun ini hingga 2009, tekanan terhadap kebutuhan fiskal semakin membesar. "Seperti subsidi yang terus membesar akibat kenaikan harga minyak."

Di sisi lain, Darmin mengatakan bahwa potensi penerimaan pajak yang hilang dari penerapan tarif hasil amendemen UU PPh mencapai Rp40,8 triliun pada tahun depan, di mana kehilangan terbesar berasal dari penu-runan tarif PPh badan atau sebesar Rpl4,3 triliun.

Kehilangan kedua akibat perubahan lapisan tarif PPh orang pribadi sebesar Rpl 1,5 triliun, disusul dengan keputusan menaikkan pendapatan tidak kena pajak (PTKP) menjadi Rpl5,8 juta sebesar Rp5,3 triliun.

Selebihnya,akibat dari penetapan sumbangan tertentu yang terkena pendapatan kena pajak, pemotongan PPh UMKM sebesar 50% dari tarif normal, insentif bagi perusahaan terbuka dan pajak dividen sebesar 10%, dan bebas fiskal untuk wajib pajak yang memiliki NPWP mencapai Rp9,6 triliun.

"Akan tetapi di pihak lain, UU ini kan mendorong tingkat kepatuhan pajak atau comp/iancesampai3-4%.Dan juga dengan intensifikasi yang kami lakukan akan meningkatkan penerimaan.

PTKP Tak Perhitungkan Beban Kebutuhan Dasar PDF Cetak Email
Ditulis oleh Susi
Tuesday, 22 July 2008 00:30
Penetapan beban pajak terhadap warga negara Indonesia tidak memperhitungkan besaran kebutuhan dasar yang harus dipenuhi oleh setiap orang. Ini penting karena Indonesia mengenal besaran penghasilan tidak kena pajak (PTKP) yang tidak memperhitungkan kebutuhan dasar seseorang.

"Sebab, pengalaman di negara mana pun. tidak ada kaitan antara pengenaan pajak dan kebutuhan dasar seseorang. PTKP selalu ditetapkan di bawah besaran kebutuhan dasar," ujar Dirjen Pajak Darmin Nasution di Jakarta, Senin (21/7).

Kenyataan itu dinilai pengamat pajak Danny Septriadi sebagai ketidakadilan. Pajak seharusnya hanya boleh dibebankan atas penghasilan riil wajib pajak. Penghasilan riil hanya dapat diperhitungkan jika penghasilan yang diperoleh seorang warga negara dikurangi oleh seluruh biaya yang menjadi kebutuhan dasarnya. Kebutuhan dasar itu pada umumnya adalah pendidikan dan kesehatan.

"Dengan demikian, beban pajak antara satu wajib pajak dan yang lainnya akan berlainan. Dengan tarif PTKP yang baru, sebesar Rp 15,84 juta per tahun, itu belum menunjukkan beban kebutuhan hidup minimum. PTKP yang ditetapkan itu belum bisa mendorong orang untuk rela membayar pajak dengan sukarela," ujarnya.

Sebagai contoh, di Malaysia, orang bisa mengklaim pengurangan pajak hingga 5.000 ringgit untuk perawatan orangtua dan pembelian alat dasar untuk penderita cacat

Sementara di Kanada, orang-tua yang memiliki anak cacat akan mendapatkan keringanan pajak sebesar 2.300 dollar AS.
"Sekarang, PTKP tambahan untuk anak ditetapkan Hp \,32 juta ptr tahun. Jika dibagi 12 bulan, sehulannyn setara dengan ftp asoi. Bandingkan dana tersebut dengan kebutuhan il;is;ir seorang anak. Jauh sekali," ujar Danny

Perbandingan

Pemerintah mengklaim nilai PTKP yang diputuskan dalam undang-undang Pajak Penghasilan (PPh) yang baru sebagai PTKP terbesar di kawasan.
Itu dimungkinkan karena PTKP yang ditetapkan sebesar Rp 15.84 juta per tahun itu setan dengan 73 persen dari produk domestik bruto (PDB) per kapita. Jika dibandingkan dengan China yang mencapai 5,7 person terhadap PDB perkapita, PTKP Indonesia masih lebih besar.

"Banyak orang di Indonesia yang menganggap PTKP itu ha-rus setara dengan beban kebutuhan dasar. Itu salah," ujar Darmin Nasution.

Menurut Darmin, saat ini Malaysia menerapkan PTKP rang setara dengan 17,78 persen terhadap PDB per kapitanya. Sementara Filipina hanya 13,8 persen terhadap PDB per kapitanya.

PTKP di Amerika mencapai 37.000 dollar AS per tahun atau hampir 20 persen terhadap PDB per kapitanya. Jika dibagi 12 bulan, setiap bulan ada penghasilan 620 dollar AS yang memotong penghasilan kena pajak.

"Mereka bisa mati kedinginan dengan penghasilan 620 dollar AS. Jadi, tidak ada hubungan antara PTKP dan kebutuhan dasar manusia," kata Darmin. (OIN)

The Income Statement (Also called the "Profit and Loss" Statement).

The income statement shows the financial results of operations for a period of time. Think of it as a “diary” of what transpired for, say, a 12-month period (e.g., “For the Year Ended 2005”). From the income statement, one can determine the level of profit or loss because amounts received from selling goods and services and other items of income are matched against all the costs and expenses incurred in the delivery of these goods and services. The major elements of an income statement are:
· Net Sales – represents the primary source of money received by the business from its customers for goods sold or services rendered. The net sales item covers the amount received after taking into consideration returned goods and allowances for reduction of prices.
· Cost of Sales and Operating Expenses – all costs incurred in the factory (including depreciation) in order to convert raw materials into finished products.
· Operating Profit – net sales less all operating costs
· Interest Income – additional source of revenue from investments
· Interest Expense – interest paid to creditors
· Provision for Income Tax – amount due to BIR


The Balance Sheet

The balance sheet presents the financial position of a business as of a specific date, much like a “snapshot” (e.g., As of December 2005). It is a report on the financial resources (assets) available to the business to carry out its economic activities as well as claims (liabilities) against its resources. The difference between assets and liabilities is the owner’s equity. This follows the fundamental accounting equation: Assets = Liabilities + Owner’s Equity.The main elements of the balance sheet are:
· Assets – economic resources of a business such as buildings, equipment, land, motor vehicles, amounts owed by customers (accounts receivable), patents and bank deposits. · Liabilities – economic obligations to pay definite or reasonably certain amounts at a time in the future. They are claims against the business by creditors.
· Owner’s Equity – residual interest of the owners in the business.The specific elements of the balance sheet are:· Current Assets – include cash and those assets which in the normal course of business will be turned into cash generally within a year from date of balance sheet. These consist of cash, marketable securities (or temporary investments), accounts receivable, inventories and prepaid expenses (payments made in advance, such as insurance, from which the business has not yet received benefits). Therefore, current assets are mostly working assets in the sense that they are constantly being converted to cash.
· Fixed Assets – also referred to as property, plant and equipment, these represent those assets not intended for sale that are used over and over again in order to manufacture the product, display it, warehouse it, transport it. Fixed assets generally consist of land, buildings, machinery, and office equipment.
· Depreciation – defined for accounting purposes as the decline in useful value of a fixed asset due to wear and tear from use and passage of time. Fixed assets may also suffer a decline in useful value from obsolescence because new inventions and more advanced technologies are introduced. The cost incurred to acquire the property, plant and equipment must be spread over the expected useful life. The usual method used is straight-line depreciation. Land is not subject to depreciation.
· Current Liabilities – generally includes all debts that fall due in the coming year. Payments made on current debts generally come from a business’ current assets.
· Accounts Payable – represents the amounts that the business owes to its regular business creditors from whom it has bought goods or services.· Notes Payable – money owed to a bank or other lender (wherein a written promissory note has been given by the borrower).
· Accrued Expenses Payable – may include salaries and wages payable to employees, interest on funds borrowed from banks, insurance premiums and similar items. To the extent that the amounts owed are unpaid as of the balance sheet date, these expenses are grouped as a total under accrued expenses payable.
· Income Taxes Payable – amounts owed and due to the BIR
· Long-term Liabilities – debts due after one year from the date of the financial reportIt would do well to prepare the income statement and the balance sheet on a regular basis to guide the entrepreneur on critical decisions that must be made with regard to the business. There are a number of technology solutions available to aid the entrepreneur in generating these financial reports.

Postingan Lebih Baru Beranda

Mengenai Saya

Spectrum Konsultan adalah perusahaan jasa konsultan yang berkonsentrasi pada penyediaan jasa konsultasi bisnis strategik. Bidang jasa yang diberikan bersifat komprehensif mencakup konsultasi Merjer & Akuisisi, Penilaian Bisnis, Jasa Akuntansi, Perpajakan, Administrasi Penggajian, Training, dan Media/Penerbitan. Dalam pemberian jasa konsultasi, pendekatan dan metode terkini diaplikasikan agar dicapai kualitas pelayanan yang optimal untuk memenuhi harapan pemakai jasa.

Visitor sampai saat ini